GEDE PUTRA ADNYANA: BARBAGI UNTUK SALING MENGERTI DAN MEMAHAMI DEMI KEMULIAAN SEMUA MAKHLUK

Eksistensi Artefak Museum Bali dan Relevansinya dengan Mata Pelajaran Antropologi (Proposal Penelitian Karya Wisata dan Dharma Yatra SMAN 1 Banjar 2010)

I.         Peneliti (Kelompok-7, Kelas XII-BHS.1)
Ketua         :    Praminatih Gusti Ayu
Sekretaris   :    Ririn Purwa Dewi Kadek
Bendahara  :    Devik Alvionita Nyoman
Anggota     :    Sri Ayu Ratwati Ni Putu
                        Astiti Dewa Ayu
                        Agus Adnyana Putu
                        Dedi Pradipa I Putu
                        Suriatmaja Ida Komang
                        Rudi Mahardika I Putu
                        Budiasa Nyoman
                        Eka Suparman Kadek
                        Agus Hendrawan Putu
Pembimbing I    :  Made Pastika, S.Pd.
Pembimbing II  :  Gede Putra Adnyana, S. Pd.

II.      Judul
Eksistensi Artefak Museum Bali dan Relevansinya dengan Mata Pelajaran Antropologi
III.   Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian: Museum Bali, Jln. Mayor Wisnu, Denpasar, Bali
IV.   Pendahuluan
4.1    Latar Belakang
Pembelajaran di sekolah semestinya hadir dalam kerangka meningkatkan pemahaman siswa terhadap suatu fenomena. Demikian pula halnya dengan pembelajaran pada mata pelajaran Antropologi, hendaknya mampu meningkatkan minat dan motivasi siswa pada mata pelajaran Antropologi. Salah satu upaya untuk meningkatkan minat dan motivasi ini yaitu melalui penerapan model pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Pembelajaran yang demikian diyakini mampu menumbuhkembangkan minat, motivasi, daya analisis, dan daya kritis dikalangan siswa. Salah satu model pembelajaran yang berusaha untuk menghubungkn bahan kajian pembelajaran dengan kondisi nyata dilapangan adalah model belajar kontekstual. Pembelajaran konteksual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Syaiful: 2009). Penerapan model belajar kontekstual memerlukan alat dan bahan pembelajaran yang relevan dengan bahan kajian. Salah satu alat dan bahan belajar dalam pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran Antropologi adalah Artefak.
Artefak adalah benda-benda peninggalan masa lalu yang merupakan hasil kebudayaan masa lampau serta dapat dipindahtangankan. Berbagai jenis artefak diantaranya Sarkopagus, Kapak Genggam, Kapak Persegi, Arca Perunggu, Candrasa, dan lain-lain. Salah satu mata pelajaran di sekolah menengah atas yang mengkaji tentang berbagai jenis fungsi dan manfaat Artefak adalah mata pelajaran Antropologi. Istilah  Antropologi  terjadi  dari  kata  Antropos  dan  Logos. Kedua  kata   itu   berasal  dari  bahasa  Yunani;  Antropos  artinya  manusia  Logos  artinya  ilmu  atau studi. JadI  Antropologi   artinya  adalah ilmu  atau  studi  tentang  manusia,   atau   jelasnya   ilmu   pengetahuan  yang  mempelajari  manusia,  baik   dari   segi   hayati   maupun   dari   segi   budaya  (Americana, 1983:43). 
Dengan demikian, pembelajaran kontekstual potensial diterapkan pada mata pelajaran Antropologi. Dalam hal ini dapat menggunakan Artefak sebagai media sekaligus sumber belajar. Namun fakta dilapangan menujukkan tidak mudah menemukan Artefak yang relatif dekat dengan lingkungan sekolah. Oleh karena itu, perlu dirancang perencanaan untuk dapat mempelajari Artefak secara langsung dan nyata. Salah satu lokasi tempat menyimpannya berbagai Artefak adalah museum. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 1995 tentang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum, museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan bukti-bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
Salah satu museum yang ada di Bali adalah Museum Bali yang beralamat di Museum Bali terletak dipusat kota Denapasar, di sebelah timur lapangan puputan Badung. Bentuk bangunannya memanjang dari utara ke selatan yang terbagi menjadi dua bgian. Bagian utara merupakan komplek bangunan lama yang direncanakan dan dibangun pada tahun 1910. Terdiri dari tiga gedung utama yaitu gedung Tabanan, gedung Karangasem dan Gedung Buleleng. Fungsinya adalah penyelenggararan pameran tetap. Bagian selatan merupakan komplek banguna baru yang dibangun tahun 1969. Di komplek bangunan baru ini terdapat gedung perpustakaan, dan juga gedung pameran sementara. Seluruh komplek bangunan baru berfungsi untuk administrasi dan penyelenggaraan pameran sementara atau pameran berkala yang diselenggarakan oleh Museum Bali sendiri atau instansi (http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/762.htm).
Berkaitan dengan hal tersebut maka pemanfaatan Museum Bali di Denpasar, berpotensi besar dijadikan sebagai media sekaligus sumber belajar pada mata pelajaran Antropologi. Media dan sumber belajar ini, dapat dipadukan kedalam satu model pembelajaran kontekstual. Untuk mengkaji lebih detail tentang eksistensi Artefak Museum Bali, serta relevansinya dengan pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran Antropologi, maka penulis melakukan penelitian ke Museum Bali di Denpasar.
4.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini, sebagai berikut :
a)    Bagaimana keberadaan Artefak yang tersimpan di Museum Bali sebagai media dan sumber belajar?
b)   Bagaimana relevansi Artefak yang tersimpan di Museum Bali dengan penerapan pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran Antropologi?
4.3    Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini, yaitu:
a)    Bagaimana keberadaan Artefak yang tersimpan di Museum Bali sebagai media dan sumber belajar?
b)   Bagaimana relevansi Artefak yang tersimpan di Museum Bali dengan penerapan pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran Antropologi?
4.4    Manfaat Penelitian
1)   Memberikan pengalaman nyata kepada siswa untuk melakukan penelitian dalam rangka meningkatkan kualitas daya analisis kritisnya.
2)   Menghadirkan nuansa ilmiah di lingkungan sekolah sehingga sekolah sebagai wawasan Wiyata Mandala, mampu diwujudnyatakan.
3)   Memberikan informasi dalam kerangka meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga dapat diterapkan oleh para pendidik untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar.
4)   Memberikan informasi kepada pihak-pihak terkait tentang potensi museum tempat penyimpan Artefak dapat digunakan sebagai media dan sumber belajar dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual pada berbagai mata pelajaran
V.      Tinjauan Pustaka
5.1    Kajian Antropologi
Ilmu antropologi mempunyai hubungan yang banyak dengan ilmu-ilmu lain. Hubungan tersebut biasanya bersifat timbal balik. Ilmu-ilmu yang bersifat timbal balik dengan antropologi di antaranya Ilmu geologi, ilmu paleontologi, ilmu anatomi, ilmu kesehatan masyarakat, ilmu psikiatri, ilmu linguistik, ilmu arkeologi, ilmu sejarah, ilmu geografi, ilmu ekonomi, ilmu hukum adat, ilmu  administrasi, dan ilmu polotik (Koentjaraningrat : 1990).
Dari ilmu-ilmu tersebut, yang berkaitan erat dengan benda-benda purbakala, yaitu ilmu geologi dan ilmu paleontologi. Itu dikarenakan ilmu geologi merupakan ilmu yang mempelajari ciri-ciri lapisan bumi dan perubahan-perubahannya. Itulah yang menyebabkan, sehingga ilmu geologi dapat membantu untuk menetapkan umur suatu artefak yang ditemukan dengan menghitung umur dari lapisan bumi tempat ditemukannya artefak tersebut. Sedangkan ilmu paleontologi adalah suatu ilmu yang meneliti umur-umur mahluk dari kala lain. Sehingga dengan bantuan Paleontologi kita juga dapat mengetahui umur dari artefak yang kita temukan dengan mengetahui umur fosil-fosil yang terdapat didekat artefak yang ditemukan tesebut.
Tujuan pengajaran Antropologi di SMA adalah mengajarkan dasar-dasar tentang pengetahuan Antropologi. Hal ini bermaksud agar siswa mampu memahami dan menelaah secara kritis dan rasional beberapa konsep dasar berbagai fenomena atau peristiwa yang berhubungan dengan budaya. Maka dari itu  ruang lingkup kajian antropologi haruslah mengandung berbagai mpengetahuan dasar tentang budaya dan berbagai kejadian sosial budaya yang terjadi, antara lain 1) budaya sebagai acuan dan pedoman sikap serta perilaku manusia dalam dalam kehidupan bermasyarakat, 2) proses pewarisan budaya, 3) perubahan budaya dalam pembangunan masyarakat, 4) keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa, 5) posisi budaya di tengah perubahan masyarakat dunia, dan 6) hubungan budaya dan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya.
Tanpa mengurangi pokok-pokok bahasan yang menjadi dasar mengenai aspek-aspek budaya, pengetahuan dasar mengenai keanekaragaman masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa sehingga perlu porsi pembelajaran yang lebih mendalam. Hal ini sangat efektif untuk memperkuat wawasan kebagsaan mereka khususnya dalam memahami kemajemukan masyarakat yang memiliki keanekaragaman kebudayaan daerah.Selain hal itu juga dapat mengurangi sikap, pola pikir, dan prilaku yang bersifat etnosentris yaitu mengagung-agungkan kebudayaan sendiri dan menganggap kebudayaan orang lain rendah. Pembelajaran ini juga dapat menunjang proses pembauran, toleransi, dan kerjasama antarwarga masyarakat Indonesia yang berlainan suku bangsa, serta memberikan pengetahuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan nasional melalui sumbangan pemikiran untuk mengulangi berbagai masalah sosial dan budaya. (Mulyadi, 1999)
5.2    Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran konteksual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Komponen utama pembelajaran konteksual, yaitu (1) Konstruktivisme (Constructivism), yaitu landasan berpikir (filosofi) pendekatan konstektual, yaitu pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak dengan  tiba-tiba; (2) Bertanya (Questioning), berguna untuk a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b) mengecek pemahaman siswa, c) membangkitkan respon pada siswa, d) mengetahui sejauh mana keingin tahuan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah dipahami siswa, f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki siswa, g) untuk membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan h) untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa; (3) menemukan (Inqury), yang terdiri dari lima siklus, a) observasi (observation), b) bertanya (Questioning), c) Mengajukan dugaan (hipotesis), d) pengumpulan data (Data gathering), dan e) penyimpulan (Conclussion); (4) Masyarakat Belajar (Learning Community), adalah konsep yang menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompk dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Dengan pendekatan konstektual guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok- kelompok belajar. .”Masyarakat belajar Bisa terjadi apabila ada proses  komunikasi dua arah; (5) Pemodelan (Modeling), bertujuan agar proses pembelajaran lebih berarti jika didukung dengan adanya pemodelan yang dapat ditiru, baik bersifat kejiwaan maupun fisik; (6) Refleksi (Refelction), adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah di lakukan dan di pelajari; dan (7) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment), merupakan proses pengumpulan data yang dapat mendeskrifsikan mengenai perkembangan perilaku pesrta didik. (Syaiful: 2009)
5.3    Artefak
a)   Sarkofagus
Sarkofagus merupakan wadah mayat yang disesuaikan kedudukannya, agar kedudukannya si mati dalam alam arwah sama seperti ketika masih hidup. Adapun fungsi dari sarkopagus,yaitu untuk menempatkan orang yang sudah meninggal, dimana penempatan kepala mayat tersebut diarahkan ketempat asal atau tempat bersemayamnya roh nenek moyang.
Banyak bukti-bukti atau peninggalan masa lalu yang ditemukan dalam bentuk sarkopagus. Hal ini terlihat dari hasil penggalian kuburan-kuburan kuno di beberapa tempat, seperti di Bali dan Kalimantan. Hasil penggalian menunjukkan, bahwa arah kepala mayat selalu ke arah timur atau barat atau ke puncak-puncak gunung dan bukit.
b)   Alat-alat dari Batu          
Hasil budaya fisik zaman prasejarah, yaitu alat-alat yang terbuat dari batu. Para ahli berpendapat bahwa alat-alat dari batu merupakan tahap awal dari manusia untuk menguasai suatu bentuk teknologi sederhana, yang disebut dengan teknologi paleolitik. Di Indonesia alat-alat yang terbuat dari batu dengan berbagai bentuknya dikelompokkan dalam dua tradisi,yaitu tradisi kapak primbas dan tradisi alat serpih.
Daerah penyebaran kapak primbas, meliputi daerah Jawa, punung (pacitan), Gombong, Jampakukan, dan Parigi. Sedangkan di Sumatera, kaoak primbas ditemukan di daerah tambang sawah, lahat, dan kuanda. Di Kalimantan kapak primbas di temukan di daerah awang bangkal. Sementara itu di Sulawesi, ditemukan didaerah cabbenge. Untuk daerah Bali, kapak primbas ditemukan di daerah Sembiran dan Trunyan.
Peralatan dari batu tersebut dapat ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Peralatan ini dipakai sebagai alat untuk membantu manusia dalam mempertahankan hidupnya dan juga sebagai perhiasan. Adapu alat-alat tersebut antara lain: a) Beliung persegi, alat ini ditemukan dalam jumlah cukup besar di wilayah Indonesia. Beliung persegi ini diduga digunakan sebagai benda untuk perlengkapan upacara. Tempat penemuan Bliumg seperti ini, antara lain Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa tenggara; b) Kapak Lonjong, ada yang berukuran besar dan kecil dan sudah diasah halus. Tempat penemuan kapak lonjong, yaitu Maluku, Irian jaya, Sulawesi utara; c) Mata Panah,merupakan salah satu alat untuk berburu dan menangkap ikan; d) Gerabah, terbuat dari tanah liat yang dibakar, dan digunakan untuk menyimpan segala kebutuhan rumah tangga dan perhiasan; dan e) Perhiasan, pembuatannya biasanya menggunakan bahan-bahan yang ada disekitar lingkungan tempat tinggalnya.
Perkembangan berikutnya, yatu zaman batu besar, maka mulai dikenal bangunan-bangunan megalitik, seperti: a) Menhir, yaitu tugu batu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang, b) Dolmen, meja batu tempat meletakkan sesaji kapada roh nenek moyang, c) Sarkofah (sarkofagus), adalah peti jenazah dari batu bulat dan utuh, d) Punden Berundak, yaitu bangunan suci tempat memuja roh nenek moyang, yang bentuknya segi empat dan bertingkat-tingkat, e) Waruga, adalah kubur batu berbentuk kubus dan bulat, dan f) Arca, merupakan simbol atau perlambang roh nenek moyang.   
c)    Nekara Perunggu
Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Bentuk nekara ini dapat disamakan dengan dandang yang ditelungkupkan. Nekara sebagai hasil dari masa perundagian, mempunyai bentuk unik dan pola-pola hias yang kompleks. Bentuk nekara pada umumnya tersusun dalam 3 bagian. Bagian atas terdiri dari bidang pukul datar dan bagian bahu dengan pegangan. Bagianh tengah merupakan silinder dan bagian berbentuk melebar.
Pola hias yang terdapat di nekara pada umumnya berbentuk pola hias geometrik dengan beberapa variasinya. Misalnya: pola hias bersusun, pola hias pilin, dan pola hias topeng. Nekara merupakan benda-benda atau alat-alat yang ada dalam kegiatan upacara yang berfungsi untuk: 1) genderang perang, 2) waktu upacara pemakaman, 3) upacara minta hujan, 4) sebagai benda pusaka atau benda keramat.
Nekara perunggu banyak sekali ditemukan didaerah nusantara. Nekara yang paling besar adalah nekara yang ditemukan di dekat Manuaba, daerah Pejeng (Bali). Karena itu, nekara tersebut di namakan ”Nekara Pejeng” atau ”Bulan Pejeng”. Nekara di Pejeng (Gianyar, Bali) berukuran sangat besar, yaitu tinggi 1,98 meter dan bidang pukulnya 1,60 meter. Nekara tersebut disimpan di Pura Penataran Sasih dan masih dipandang keramat oleh penduduk setmpat.


d)   Kapak Perunggu
Secara tipologi, kapak perunggu digolongkan kedalam 2 golongan, yaitu: kapak corong dan kapak upacara. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukkan kayu tangkai. Oleh karena bentuknya menyerupai orang bersepatu maka di namakan ”kapak sepatu”. Adapun cara pembuatan kapak-kapak perunggu atau corong,banyak tanda-tanda yang menunjukkan teknik a cire perdue.
e)    Gelang  dan Cincin Perunggu
Gelang dan cincin perunggu umumnya tanpa hiasan. Tapi ada juga yang dihias dengan pola geometrik atau pola binatang. Bentuk-bentuk hiasan yang kecil mungkin dipergunakan sebagai alat tukar atau benda pusaka. Ada juga mata cincin yang berbentuk seekor kambing jantan yang ditemukan di Kedu (Jawa Tengah). Bandul (mata) kalung yang berbentuk kepala orang  ditemukan di Bogor. Ada pula kelintingan perunggu berukuran kecil yang berbentuk kerucut, silinder-silinder kecil dari perunggu yang tiap ujung silinder ada yang berbentuk kepaloa kuda , burung atau kijang. Kelintingan banyak ditemukan di Malang, Jawa Timur.
f)    Manik-Manik
Manik-manik sebagai hasil hiasan sesungguhnya sudah lama dikenal masyarakat Indonesia. Manik-manik di Indonesia memegang perana penting. Manik-manik digunakan sebagai bekal kubur, benda pusaka juga sebagai alat tukar. Manik-manik ditemukan hampir disetiap penggalian, terutama di daerah –daerah penemuan kubur prasejarah seperti Pasemah (Jawa barat), Gunung kidul ( Jawa Tengah), DI Jogjakarta, Besuki (Jawa Timur), dan Gilimanuk (Bali).
VI.        Metode Penelitian
6.1    Rancangan Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena yang ditemukan apa adanya. Langkah-langkah dalam penelitian ini secara garis besar terdiri dari tiga langkah yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan. Pada tahap persiapan meliputi: menganalisis permasalahan, melakukan telaah pustaka, dan menyusun proposal penelitian. Sedangkan pada tahan pelaksanaan yaitu mengambil data ke lokasi penelitian. Dalam hal ini, penelitian dilakukan di Museum Bali. Sedangkan pada tahap pelaporan meliputi: analisis data, penyusunan laporan, dan presentasi laporan penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011. Dalam hal ini persiapan penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Banjar, pengambilan data di Museum Bali, dan penyusunan laporan dilaksanakan baik di sekolah maupun di tempat yang disepakati oleh tim peneliti. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang kreatif dan inovatif berkaitan dengan keberadaan Museum Bali, berbagai Artefak yang disimpan, dan potensi museum dijadikan media dan sumber pembelajaran yang kontekstual.
6.2    Aspek Kajian
Dalam penelitian ini, teridentifikasi dua aspek kajian yaitu Artefak yang tersimpan di Museum Bali dan potensi Artefak sebagai media atau sumber belajar pada mata pelajaran antropologi. Berbagai Artefak yang terdapat di Museum Bali dirangkai sedemikian rupa sehingga terurut sesuai dengan waktu atau zamannya. Sedangkan pemanfaatan Artefak sebagai media belajar diterapkan pada pembelajaran kontekstual. 
6.3    Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mendapatkan data sesuai dengan aspek kajian. Dengan demikian, instrumen dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua yaitu instrumen tentang berbagai Artefak yang tersimpan di Museum Bali dan instrumen tentang kajian materi pelajaran Antropologi yang relevan dengan pemanfaatan Artefak sebagai media pembelajaran kontekstual.
Adapun instrumen berkaitan dengan aspek kajian Artefak yang tersimpan di Musem Bali disajikan pada tabel berikut:
No
Aspek yang dikaji
Deskripsi Hasil Penelitian
1.
Artefak yang tersimpan di Museum Bali


a)      Jenis Artefak


b)      Lokasi penemuan


c)      Waktu penemuan


d)     Hubungan dengan kondisi zaman


e)      Fungsi dan peranan artefak


f)       Hubungannya dengan sejarah dan kebudayaan manusia


Dalam penelitian ini juga digunakan metode wawancara. Oleh karena itu dipersiapkan daftar pertanyaan untuk memperkuat kualitas data yang diperoleh melalui observasi. Adapun daftar pertanyaannya, disajikan pada tabel berikut:
No
Pertanyaan
Jawaban
1
Bagaimana perkembangan artefak yang tersimpan di Museum Bali dari waktu ke waktu

2
Apa kendala-kendala yang ditemukan dalam upaya meningkatkan koleksi artefak di Museum Bali

3
Apa kelebihan dan kekurangan keberadaan Museum Bali secara umum

4
Bagaimana upaya dari Museum Bali untuk meningkatkan koleksi Artefak yang tersimpan

5
Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap eksistensi Museum Bali

6
Bagaimana dengan kunjungan para pelajar/mahasiswa ke Museum Bali

7
Bagaimana upaya Museum Bali untuk meningkatkan kunjungan para pelajar/mahasiswa

8
Bagaimana dukungan pemerintah pusat atau daerah terhadap eksistensi dan perkembangan museum Bali


Sedangkan kajian tentang relevansi mata pelajaran antropologi dengan Musem Bali dilakukan melalui telaah pustaka. Berkaitan dengan hal tersebut, instrumen yang dikembangkan dalam menemukan relefansi itu, disajikan dalam tabel berikut:

No
Indikator Kajian
Musem Bali
Mata Pelajaran Antropologi
Keterangan Relevansi
1
Kajian artefak



2
Kajian Kesenian masa lampau



3
Kajian strata sosial kemasyarakatan masa lampau



4
Kajian perkembangan teknologi



5
Eksistensi suku bangsa Bali



6
Pengaruh perkembangan IPTEKS terhadap kebudayaan tradisional




6.4    Teknik Pengumpulan Data
Data atau informasi yang dikumpulkan dalam karya tulis ini terdiri dari kegiatan pada Museum Bali, metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah metode wawancara dan metode observasi. Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan informasi dari nara sumber atau staf Museum Bali.
Sedangkan metode wawancara diterapkan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang telah dirancang dalam Instrumen Penelitian dan untuk memperjelas informasi yang dimaksud, maka dilakukanlah observasi atau pengamatan langsung dilokasi penelitian sehingga data yang didapatkan lebih akurat dan terpercaya.
6.5    Analisis Data
Data merupakan informasi yang diperoleh melalui instrumen penelitian yang dikumpulkan melalui teknik wawancara dan observasi. Data yang didapatkan melalui teknik wawancara dan obsevasi tersebut berupa data deskriptif kualitatif. Dengan demikian analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskreptif. Dalam analisis ini data dijelaskan apa adanya sesuai denga fakta yang ditemukan di lapangan. Baik data tentang artefak yang tersimpan di Museum Bali maupun kajian antropologi yang relevan dideskripsikan sehingga ditemukan hubungan antara artefak Museum Bali dengan pembelajaran antropologi yang kontekstual.
Daftar Pustaka
Anonim. 2009. Jenis Sarkofagus Yang Mengagumkan. Dalam http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13685 diunduh 24 Oktober 2010
Anonim. 2009. Perubahan Kebudayaan. Dalam http://id.shvoong.com/social-sciences/1997178-perubahan-kebudayaan/ diunduh 23 Oktober 2010
Hanafiah, Cucu Suhana. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Cetakan Pertama. Bandung: PT Refika Aditama
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-8. Jakarta: PT RINEKA CIPTA
Mulyadi, Yad. 1999. Antropologi: untuk Sekolah Menengah Umum kelas 3 Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial. Cetakan ke-1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nurjana, GM. 2009. Lingga Yoni. Dalam Media Hindu edisi 59 – Januari 2009
Syaiful, Sagala. 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran. Cetakan ketujuh. Bandung: Alfabeta
Tim Wacana Nusantara. 2010. Sarkofagus: Peninggalan Kebudayaan Masyarakat Megalitikum. Dalam http://www.wacananusantara.org/content/ view/category/2/id/633?mycustomsessionname=5d8f65441872f62ae7985a76327d47a7 diunduh 24 Oktober 2010

Tidak ada komentar: