MISTERI DAUN CENGKEH
Wayan Badra termenung meratapi nasib yang sama sekali tidak berpihak kepada keluarganya. Tiba-tiba dari balik pintu terdengar teriakan keras, memecah keheningan malam. Jantungnya berdebar keras, dipaksakan untuk mengamati keadaan di luar. Ternyata, hanya suara sumbang seekor kambing. Debar jantungnya perlahan mulai melemah, “ah….busyet”, teriaknya dalam hati. Ternyata suara itu, hanyalah seekor kambing yang sedang beranak. Pintu rumah ditutup kembali, dan dengan keras Wayan mendudukkan pantatnya di kursi kayu yang hanya terbuat dari potongan-potongan kayu kopi. Wayan kembali merenung, tentang kehidupan keluarganya yang morat-marit, tentang keberlanjutan pendidikan anak-anaknya, tentang kemampuannya untuk menghadapi beban hidup yang semakin berat. Pikirannya berputar-putar tak tentu arah, sampai akhirnya tertidur tanpa bantal, tanpa selimut, dan tanpa alas tidur.
Wayan Badra terkejut, istrinya membangunkan dengan agak keras. Terlihat kedua anaknya, Luh Sari dan Nengah Ceking, telah siap untuk berangkat ke sekolah. Istrinya berkata ”Pak, anak-anak minta uang untuk bekal berangkat ke sekolah”. Wayan terdiam, matanya terpejam, dan merunduk. ”Pak, anak-anak mau minta uang” teriak istrinya sekali lagi. Dengan suara berat Wayan berkata ”Bu, biarlah anak-anak hari ini tidak belanja di sekolah”. ”Mengapa begitu?”, teriak istrinya. Wayan menarik istrinya agak jauh dari anak-anak, kemudian dengan suara lemah Wayan berbisik ”Bu, hari ini kita tidak memiliki sepeser uang”. Istrinya terdiam, dan selanjutnya segera pergi untuk menghampiri anak-anaknya. Wayan tidak tahu lagi apa yang dibicarakan antara istri dan anak-anaknya, dan dari agak jauh terlihat kedua anak-anaknya telah berangkat ke sekolah.
Setelah keberangkatan anak-anaknya, Wayan Badra memanggil istrinya dan mengajak duduk di kursi kopi. Lama Wayan dan istrinya terdiam, suasana begitu sepi dan kaku. Wayan juga bingung, harus mulai dari mana untuk menyampaikan kondisi ini kepada istrinya. Akhirnya, dengan sisa-sisa kekuatannya, Wayan berkata, ”Bu, bagaimana dengan kita sekarang, apa yang harus kita lakukan, kita sudah tidak punya apa-apa lagi”. Istrinya terdiam, merunduk, dan terlihat matanya mulai memerah, serta meneteskan air mata. Sambil mengusap air mata, istrinya berkata, ”terserah bapak, sebagai istri, saya hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan suaminya”. Jawaban itu, ternyata mampu membesarkan motivasinya untuk bangkit dari keterpurukan. Wayan merasa tertantang, ternyata istrinya sunguh-sungguh menggantungkan hidup kepadanya. ”Kalau begitu, mari kita coba untuk memohon mujizat kepada para penguasa alam ini”. Mata istrinya terbelalak, ”apa maksud bapak?”, tanyanya penuh dengan ketidakmengertian. Selanjutnya, Wayan menjelaskan, ”begini, di sekitar hutan Danau Tamblingan terdapat pohon beringin yang sangat besar. Konon katanya pohon itu, dihuni oleh makhluk halus yang sangat sakti. Banyak orang yang sudah pernah memohon berkah ke tempat itu. Dan, konon katanya banyak yang sudah berhasil”. Istrinya terdiam, lama terdiam, di raut wajahnya terlihat keragu-raguan. Wayan juga merasakan, tindakan ini sungguh tidak masuk akal. Istrinya menjawab dengan pendek, ”ya, terserah bapak”. Akhirnya, mereka bersepakat menentukan hari yang baik untuk berangkat ke tengah hutan di sekitar Danau Tamblingan.
Hari baik yang dipilih adalah tepat saat bulan purnama. Sore hari menjelang keberangkatan, Wayan Badra menitipkan anak-anaknya kepada tetangga, di mana mereka sering bermain. Wayan mencari alasan, bahwa ada keperluan mendadak malam ini, sehingga harus segera ke rumah mertuanya, karena ada acara keluarga. Tetangganya memaklumi, dan bersedia mengajak anak-anak Wayan Badra menginap satu malam di rumahnya.
Malam hari, tepat saat bulan purnama, sekitar jam 21.00 Wita, Wayan Badra dan istrinya berangkat menuju bukit di tengah hutan Danau Tamblingan. Jarak dari rumahnya menuju tempat itu memerlukan waktu perjalanan sekitar 3 jam. Sekitar jam 24.00 Wita mereka sampai di bawah pohon beringin yang sangat besar. Malam sangat larut serta cahaya bulan yang menembus dedaunun pohon beringin menambah seramnya suasana. Seolah-olah ada makhluk-makhluk yang melambai-lambaikan tangannya, menyapa atau mungkin murka melihat kedatangan mereka. Mereka mulai membuka tikar dan sesaji yang telah disiapkan sebelumnya. Wayan berbisik kepada istrinya, ”jangan takut, karena kita ke sini hanya untuk mohon bantuan, bukan untuk mengganggu mereka”. Istrinya terdiam, terlihat tangannya sedikit gemetar, bercampur antara dingin dan takut. Sekali lagi Wayan berbisik, ”mari kita bersemadi, mohon supaya keinginan kita terpenuhi, mudah-mudahan ada petunjuk”. Mereka mulai memejamkan mata, suara-suara aneh yang jarang didengar menambah seram di sekitar pohon beringin itu. Bulu kuduk mereka mulai berdiri, walaupun dengan kepasrahan yang dalam, tetapi tetap saja bulu kuduknya berdiri. Bahkan terdengar istrinya menangis, walaupun tangis itu jauh di dalam tubuhnya. Wayan terdiam dan berusaha hening untuk dapat bersemadi dengan baik. Tetapi, suara-suara aneh itu, kadang-kadang keras, melemah, melengking, dan bahkan sepi tanpa suara, ternyata cukup mengganggu semadinya.
Tetapi, kondisi mereka yang terbelit kemiskinan, membesarkan kembali keberaniannnya. Terlintas dalam pikiran Wayan Badra sebagai orang miskin yang penuh dengan kekurangan sehingga diselimuti permasalahan hidup. Wayan tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, selama ini, Wayan menempati rumah yang dulu digunakan untuk kandang kuda. Sebagai gantinya, Wayan harus siap bekerja tanpa upah di tegalan atau kebun pemiliki gubuk itu. Masalah kebutuhan hidup sehari-hari, yang sulit dipenuhi, baik untuk istrinya maupun kedua anak-anaknya. Permasalahan itulah yang ternyata membangkitkan keberaniannya untuk menghadapi tantangan yang menurut Wayan sendiri adalah sesuatu yang tidak masuk akal.
Di keheningan semadinya, tiba-tiba istri Wayan Badra berbisik, ”Pak…pak…pak…, pulang pak, bulu kudukku merinding dan firasatku mulai tidak baik”. Wayan terdiam, dan tidak menghiraukan bisikan itu. Wayan masih berharap agar penghuni pohon beringin itu dapat memberikan bantuan atau petunjuk agar perjalanan hidupnya lebih baik. Beberapa saat kemudian, istrinya terdiam lagi. Wayan Badra melihat seolah-olah pepohonan bergerak layaknya ditiup angin kencang, tetapi saat itu tidak ada angin, yang ada hanya suara jangkrik di sana-sini. Wayan semakin yakin bahwa nanti akan ada sesuatu baik yang bisa mengatasi masalah dalam rumah tangganya maupun sesuatu yang lain. Keyakinan itu semakin kuat setelah setangkai daun yang jatuh menempel di dahinya, dan Wayan terus berdoa.
Malam semakin larut, tiba-tiba istri Wayan Badra berbisik lagi, “Pak, ayo pulang, kasihan anak-anak, terlalu lama menunggu kita”. Waktu telah meninjukkan pukul 02.00 Wita, akhirnya Wayan dan istrinya pulang, sambil mengemas semua kelengkapan yang dibawa. Wayan membungkus, mengikat tikar dan perlengkapannya dengan tergesa-gesa. Wayan berkata, ”ayo bu kita pulang, mungkin hari ini kita belum diberkati, mudah-mudahan lain waktu kita akan diberkati”. Akhirnya dengan mengucapkan pamit kepada seluruh makhluk, baik yang nampak maupun tidak nampak, mereka bergegas pulang. Sekitar pukul 05.00 Wita mereka telah sampai di rumah tetangga tempat menitipkan anak-anaknya. Dengan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, mereka sekeluaga bergegas pulang ke gubuk.
Anak-anak Wayan Badra telah berangkat ke sekolah, istrinya memasak ubi di dapur. Wayan membuka tikar yang kemarim malam di bawa ke hutan. Tidak ada hal aneh yang ditemukan. Wayan merenung agak lama, untuk melihat kelengkapan bersemadi kemarin. Tiba-tiba matanya tertuju kepada daun yang malam itu menempel di dahi. Wayan mengambil daun itu, ternyata daun itu adalah daun cengkeh yang sudah kering. Lama Wayan merenung sambil bergumam ”mungkinkah ini petunjuk yang diberikan?. Lalu, untuk apa daun cengkeh kering ini?”. kira-kira satu jam Wayan melihat daun cengkeh kering itu, tiba-tiba Wayan dikejutkan oleh suara seseorang yang memanggil. ”Pak, Pak, Pak, ada orang di dalam”, teriak orang itu. Wayan segera keluar, dan terlihat seseorang yang tak dikenal serta membawa buku, berkata, ”Pak saya dari Desa Gunungsari, saya sedang mencari orang-orang yang mau mengumpulkan daun cengkeh kering yang akan saya olah di pabrik untuk menjadi minyak daun cengkeh. Kalau bapak berkenan, silahkan kumpulkan, nanti setiap minggu saya akan datang ke sini untuk mengambil daun cengkeh tersebut”. Jantung Wayan Badra berdebar keras, semakin yakin bahwa ini adalah petunjuk yang diberikan tadi malam. Dengan cepat Wayan menjawab, ”baik pak, saya siap, di sekitar gubuk saya ini ada banyak sekali kebun cengkeh”. Orang itu berkata, ”baik, kalau begitu lagi tiga hari saya datang ke sini”, sambil pergi dan meninggalkan Wayan sendiri yang masih tidak percaya dengan kejadian hari ini.
Wayan Badra segera memanggil istrinya, yang sejak dari tadi berada di dapur, dan berkata, ”Bu permohonan kita ternyata dikabulkan, tadi ada orang yang akan membeli daun cengkeh”. Istrinya terkejut, sambil berkata ”ah, untuk apa daun cengkeh itu, tidak masuk akal”. Wayan menjawab, ”katanya akan diolah menjadi minyak daun cengkeh, dan pabriknya ada di Desa Gunungsari”. ”Kalau begitu mari kita segera mengumpulkan daun cengkeh kering, siapa tahu itu benar dan kita dapat memperbaiki kehidupan ini”, sahut istrinya agak bersemangat. Tanpa banyak komentar lagi, mereka segera bergegas pergi ke kebun tetangga untuk mencari dan mengumpulkan daun cengkeh kering. Tidak terlalu lama, mereka telah dapat mengumpulkan daun-daun cengkeh kering mencapai 5 karung, selanjutnya, segera membawa ke gubuk. Itulah kegiatan yang terus dilakukan dari pagi sampai menjelang sore hari.
Setelah tiga hari, orang yang berjanji mengambil daun cengkeh itu, menepati janjinya dan datang untuk membeli daun cengkeh yang telah dikumpulkan. Sambil memperkenalkan diri orang itu berkata, ”Pak nama saya Suyono, saya orang pabrik pengolahan daun cengkeh, mau membeli daun cengkeh yang telah bapak kumpulkan”. Dengan perasaan senang, Wayan Badra dan istrinya mengeluarkan karung-karung yang berisi daun cengkeh kering tersebut dan setelah dihitung telah mencapai 25 karung. Setiap karungnya, dihargai Rp 10.000,00 sehingga total uang yang didapatkan mencapai Rp 250.000,00. Tanpa banyak pertanyaan Pak Suyono mengangkut karung itu ke dalam mobilnya, dan segera meninggalkan tempat itu. Wayan Badra dan istrinya terdiam, belum pernah selama berumah tangga mereka mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu tiga hari. Mereka segera kembali ke gubuk untuk merencanakan kegiatan berikutnya. Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual daun cengkeh, Wayan memerintahkan istrinya untuk membeli beras dan keperluan sekolah Luh Sari dan Nengah Ceking.
Kegiatan mencari dan mengumpulkan daun cengkeh terus dilakukan setiap hari, sampai akhirnya Pak Suyono mempercayai Wayan Badra menjadi asistennya. Tawaran itu tentu saja diterima dengan senang hati. Dari hari ke hari kehidupan keluarga Wayan Badra terus berubah. Bahkan, pabrik pengolahan minyak daun cengkeh tumbuh menjadi besar dan Wayan mendapatkan banyak manfaat dari pendirian baprik tersebut. Kondisi ini, membuat kehidupan keluarga Wayan Badra semakin baik dan terus menekuni usaha daun cengkeh. Kejujurannya membuat Pak Suyono memberikan kepercayaan untuk menjadi pengelola di pabrik itu. Wayan Badra telah keluar dari belenggu kemiskinan dan menjadi orang yang disegani dan dihormati. Sungguh tak disangka, daun cengkeh kering yang menempel di dahinya di malam purnama itu menjadi inspirasi dan dapat mengubah kehidupan Wayan Badra dan keluarganya.
Cerpen oleh: Luh Ayu Cinthya Herliyanti
Siswa SMA Negeri 1 Banjar, Buleleng, Bali
Juara I, LMCP Tingkat. Nasional Tahun 2008